Monday, August 24, 2015

Praktek Agroforestri Dalam Pengelolaan Kawasan oleh Masyarakat Sekitar Hutan Aik Bual


Praktek Agroforestri Dalam Pengelolaan Kawasan oleh Masyarakat Sekitar Hutan Aik Bual


Agroforestri merupakan sistem pengelolaan lahan dengan memadukan tanaman semusim, tanaman buah-buahan, tanaman kayu-kayuan maupun ternak, untuk mendapatkan hasil yang optimal dan berkelanjutan, dan sekaligus memperbaiki kualitas lingkungan. Pengelolaan agroforestri cenderung akan selalu berkaitan dengan pengetahuan lokal petani yang terbentuk secara turun temurun. Pengetahuan lokal ini didapat dari pengalaman bertani/berkebun dan berinteraksi dengan lingkungannya dan bersifat dinamis karena dapat dipengaruhi oleh teknologi dan informasi eksternal. Proses pengelolaan lahan yang dilakukan petani tidak terlepas dari pengetahan lokal petani baik dalam perencanaan lahan, pengolahan tanah, pemeliharaan tanaman yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain sesuai dengan kondisi sosial budaya dan namun sistem pengetahuan dan pengelolaan lahan ini selalu tumbuh dan berkembang. Dinamisasi pengetahuan sebagai suatu proses sangat berpengaruh pada corak pengelolaan sumberdaya alam. Dalam aktifitas pengelolaan lahan terdapat aturan lokal atau yang biasanya disebut dengan awig-awig. Aturan lokal tersebut merupakan norma yang disepakati oleh kelompok yang memuat perintah, larangan dan pemberian sanksi terhadap pelanggaran yang terjadi. Muatan aturan lokal di setiap kelompok berbeda tergantung kesepakatan kelompok serta kondisi sosial budaya masyarakat.

Pengetahuan Petani Dalam Pengelolaan Lahan Di Kawasan Hutan

Petani di sekitar Kawasan Hutan  Aik Bual menerapkan beberapa pola agroforestri yang dikembangkan berdasarkan pengetahuan, kebutuhan, serta prospek pasar di desa tersebut. Pola yang dibangun mengkombinasikan tanaman tahunan, buah-buahan serta tanaman pangan dengan pertimbangan tertentu. Hal ini berkaitan dengan karakteristik lahan masing-masing lokasi. Saat ini petani sudah mulai menerapkan sistem agroforestri sederhana atau yang dikenal dengan farm based agroforest dengan penanaman sistem lorong (alley cropping). Agroforestri ini mengkombinasikan tanaman tahunan, MPTS serta tanaman semusim dengan komposisi tanaman semusim lebih dominan dari tanaman kayu-kayuan dan MPTs. Hal ini dirasakan penting untuk meningkatkan produktivitas lahan terutama mendukung ketersediaan pangan dalam pemenuhan kebutuhan petani.


Perencanaan Kombinasi Tanam

Komoditas pertanian yang dikembangkan oleh petani terdiri dari tanaman semusim. Tanaman pangan tersebut umumnya hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Tanaman yang pangsa pasarnya bagus dan bernilai ekonomi cukup tinggi adalah tanaman pisang, durian, kopi, kakao, sehingga diandalkan oleh petani sebagai penghasil uang. Berkaitan dengan proses penanaman, tanaman pangan berupa palawija tersebut ditanam dengan mengandalkan pasokan dari air hujan sebagai pemasok kebutuhan tanaman dengan pola tanam 1 kali dalam setahun.

Pengolahan lahan

Pengolahan lahan di kawasan oleh masyarakat sekitar  hutan Aik Bual  masih bersifat tradisional. Proses pengolahan tanah biasanya dilakukan satu kali dalam setahun tepatnya pada awal musim hujan sekaligus membersihkan lahan sehingga siap untuk ditanami. Dilihat dari segi luas lahan, petani yang memiliki lahan yang luas (> 0,5 Ha) biasanya mempekerjakan orang lain (tenaga kerja luar keluarga). Sedangkan petani yang memiliki lahan sempit (< 0,5 Ha), pengolahan tanahnya dilakukan sendiri oleh petani yang dibantu oleh anggota keluarganya (tenaga kerja dalam keluarga). Pengolahan tanah dilakukan 1-2 kali setahun pada awal musim hujan.

Penanaman

Pola tanam yang dikembangkan oleh petani tidak terlepas dari ketersediaan air dalam pemenuhan kebutuhan tanaman. Dari hasil identifikasi pola tanam, petani masih menerapkan kombinasi tanaman tahunan dan tanaman musiman dengan pertimbangan hasil yang didapatkan dari tanaman tahunan dapat memberikan penghasilan jangka panjang yang lebih besar sedangkan tanaman MPTs dan buah-buahan yang ditanam yaitu kopi, pisang, durian yang diharapkan memberikan kontribusi untuk rumah tangga karena dapat dipanen 2-3 kali dalam setahun. Secara khusus, pola tanam tidak secara jelas terlihat karena petani lebih tertarik menanam tanaman MPTs dan Buah yang waktu produksinya lebih dari 6 bulan.



Pemeliharaan

Proses pemeliharaan lahan diistilahkan dengan “ngawas” (membersihkan lahan dari rerumputan dan semak hanya dengan menghilangkan batang dan daunnya) dan biasanya dilakukan 2-3 kali dalam setahun. Selain itu, juga dilakukan “ngasor” yaitu membersihkan tanaman dan semak dengan menghilangkan hingga akar) biasanya ngasor ini dilakukan oleh petani satu kali dalam setahun yaitu pada akhir musim hujan sehingga tanaman yang dibersihkan tersebut tidak cepat tumbuh lagi. Bagi petani yang memiliki lahan sempit (<0,5 Ha) pemeliharaan lahan dilakukan secara berkala dan dilakukan sendiri oleh petani terutama pada lahan dengan sistem tumpang sari. Pemeliharaan petani yang sangat kurang menyebabkan tanaman tidak terawat. Sistem Agroforestri kebun campuran yang dikembangkan dengan kombinasi tanaman kayu-kayuan dan MPTs telah menunjukkan strata yang baik tetapi jarak tanam yang terlalu padat kurang baiknya pertumbuhantanaman. Berdasarkan observasi lapangan, strata tanaman. Pengetahuan petani terhadap pengaturan strata tanaman belum cukup baik khususnya untuk lahan yang memiliki kepadatan tanaman yang cukup tinggi. Salah satu upaya pemeliharaan tanaman yang baik yaitu menjaga distribusi cahaya matahari antara satu strata dengan yang lainnya. Penggunaan sarana produksi seperti obat-obatan sebagai pengendali hama dan penyakit umumnya masih sangat minim dilakukan. Dalam pengendalian gulma, petani biasanya melakukan penyiangan tanaman 2-3 kali dalam setahun dengan cara tradisional seperti menggunakan sabit dan penggunaan rondap (obat pembunuh gulma). Penyemprotan dengan rondap ini membutuhkan waktu lebih cepat sehingga lebih banyak digunakan oleh petani walaupun memiliki efek negatif pada tanah. Selain penanaman dan penyiangan, umumnya petani sangat jarang melakukan pemupukan pada lahan garapannya karena kondisi tanahnya yang memang sudah subur dengan unsur hara yang berasal dari seresah daun tanaman tahunan dan MPTs. Penggunaan pupuk hanya terbatas pada jenis tanaman seperti durian untuk meningkatkan produksi buah dengan pemberian pupuk kandang.

Pemanenan

Musim panen antara bulan Maret-April. Bulan tersebut menurut masyarakat sebagai puncak musim panen buah-buahan yang ada di kawasan hutan. Hasil panen biasanya dijual ke pasar secara sendiri-sendiri dan untuk beberapa jenis buah-buahan terkadang pengepul dari luar kampung datang membeli secara borongan. Proses pemanenan hasil kebun dilakukantergantungpada komoditi yang dikembangkan. Penjualanproduksibiasanya dilakukan dengan menggunakan sistem borongan terutama untuk tanaman MPTs seperti durian, kopi, dan kelapa dimana petani telah memiliki hubungan jual beli denganpedagangditingkat desa/dusun. Selain itu, tanaman lain seperti pisang yang sifat produksinya tidak serempak, biasanya petani menjual langsung ke pedagang (tengkulak). Hal ini dilakukan karena apabila menjualnya ke pasar, petani akan dibebankan oleh biaya transportasi yang cukup mahal karena akses jalan ke pasar cukup jauh sehingga petani lebih memilih menjual ke pedagang pengumpul walaupun dengan harga yang lebih murah. Selain tanaman MPTs, tanaman pangan yang dihasilkan seperti ubi kayu, ubi jalar, jagung, talas, dan tanaman pangan lainnya lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Wednesday, August 5, 2015

Identifikasi & Inventarisasi Keanekaragaman Pohon di Kawasan Hutan Aik Bual


Pengukuran Pohon oleh Kelompok Tani Hutan (KTH) Aik Bual

Kegiatan Identifikasi dan Inventarisasi Keanekaragaman jenis dan jumlah pohon dilakukan oleh anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) Aik Bual dengan melakukan pengukuran diameter pohon (DBH) dan mengukur lingkar batang pohon.  Kegiatan ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk menerima Imbal Jasa Lingkungan (Payment Ecosystem Services/PES) program REDD+ melalalui skema Plan Vivo yang telah di implementasikan di kawasan hutan Aik Bual seluas 100 ha.

Pengukuran dilakukan secara partisipatif oleh anggota KTH Aik Bual dengan didampingi Tim Teknis dari Lembaga Fauna & Flora International - Indonesia Programme (FFI-IP) beserta Ketua Kelompok Tani Hutan Aik Bual, Ketua Blok KTH Aik Bual dan anggota kelompok. Data hasil pengukuran ini selanjutnya akan di tabulasi dan dianalisis sebelum dilakukan verifikasi lanjutan oleh Tim CPES nantinya.

Beberapa data dan dokumen yang telah disiapkan oleh KTH Aik Bual yang dibuat dalam Dokumen/Borang dibuat untuk masing-masing anggota petani yang akan menerima dana PES diantaranya yaitu; Peta Lahan Petani, Sket lahan dengan komposisi pohon, Form Penanaman Bibit, Form Serah Terima bibit, Form Pengukuran, dan Fix Photo Point (FPP).

Saparudin, selaku Ketua KTH Aik Bual mengatakan: "Pembayaran Imbal Jasa Lingkungan (PES) kepada KTH Aik Bual akan dibayarkan tahun ini, sebelumnya kelompok telah melakukan beberapa aktivitas yang telah disyaratkan oleh Plan Vivo diantaranya Penanaman Pohon di kawasan hutan Aik Bual seluas 100 ha". Saparudin juga menuturkan bahwa anggota KTH Aik Bual juga melakukan pengukuran dan iventarisasi jenis pohon yang ada saat ini (existing) di dalam kawasan disamping juga secara rutin melakukan Patroli Kawasan, Pengukuran Air setiap bulannya.


Monday, June 8, 2015

Kunjungan Forum DAS Nasional Ke Kawasan Hulu DAS Renggung (Aik Bual) Kabupaten Lombok Tengah


Diskusi di Kantor Desa Aik Bual
Meninjau Kondisi Hutan Aik Bual

Mengunjungi Mata Air Nyeredep

Kunjungan Tim Forum Daerah Aliran Sungai (ForDAS) Nasional ke kawasan hulu DAS Renggung beberapa waktu lalu dalam rangka survey lokasi pengembangan program pemberdayaan masyarakat dan konservasi berbasis DAS. Kunjungan tersebut difasilitasi oleh parapihak yang konsen melakukan aktivitas di lokasi tersebut yakni: Fauna & Flora International - Indonesia Programme (FFI-IP), Forum DAS Provinsi NTB, Forum DAS Kabupaten Lombok Tengah, Puslisda UNRAM, dan Kelompok Tani Hutan Aik Bual. Kedatangan rombongan disambut oleh Kepala Desa Aik Bual, Zulkurnain. Dalam diskusinya, Zulkurnain menjelaskan secara rinci tentang kondisi umum Desa Aik Bual, Sosial Budaya, Karakter masyarakat Desa Aik Bual, Kelembagaan Masyarakat dan Potensi Kawasan Hutan yang dimiliki Desa Aik Bual. 

Budhy Setiawan (Ketua Forum DAS Provinsi NTB) menjelaskan bahwa DAS Renggung merupakan salah satu DAS strategis di Kabupaten Lombok Tengah, memiliki banyak potensi dan karakteristik DAS yang unik. Kawasan Hulu merupakan kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) yang merupakan kawasan hutan yang memiliki keanekaragaman hayati cukup tinggi, potensi sumberdaya air dengan adanya beberapa titik mata air yang dimanfaatkan oleh PDAM Lombok Tengah dan untuk irigasi yang disalurkan ke kawasan tengah dan hilir, potensi cadangan nilai karbon, dan potensi komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) diantaranya potensi aren dan bambu. Saat ini program yang dikembangkan di wilayah DAS Renggung di Hulu adalah Pengembangan Agroforestri di dalam kawasan hutan (Pengkayaan jenis Kayu-kayuan dan MPTs), Pengembangan REDD+ Skema Plan Vivo, Fasilitasi Kelompok Usaha Industri Pengolahan Hasil HHBK, dan Perlindungan Mata Air. Sementara untuk wilayah tengah dan hilir adalah pengembangan agroforestri di lahan milik yang diprioritaskan di lahan-lahan kritis dan sempadan sungai dengan menanam beberapa jenis kayu dan jenis buah-buahan. 

Selain melihat kondisi kawasan hutan Aik Bual yang saat ini sedang difasilitasi untuk mendapatkan ijin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm), rombongan juga melakukan kunjungan ke Mata Air Nyerdep. Mata Air Nyeredep merupakan salah satu titik sumber air yang dimanfaatkan oleh PDAM Lombok Tengah yang didistribusikan ke wilayah tengah DAS Renggung. Selanjutnya rombongan melakukan kunjungan ke wilayah Tengah dan Hilir DAS Renggung untuk melihan kondisi landscape secara umum.

Friday, April 10, 2015

Implementasi REDD+ Skema Plan Vivo di Kawasan Hutan Aik Bual



Plan Vivo Standard adalah suatu sistem yang berkelanjutan untuk proyek-proyek yang menggunakan lahan untuk tujuan meningkatkan mata pencaharian masyarakat miskin pedesaan di negara berkembang dengan menghubungkan mereka kepada perdagangan karbon. Plan Vivo Standard merupakan suatu kerangka kerja untuk mengelola proyek-proyek berbasis masyarakat
penggunaan lahan dimana masyarakat menerima pembayaran untuk jasa pelayanan ekosistem. Para peserta proyek adalah produsen skala kecil dan masyarakat di negara-negara berkembang. Mereka membuat rencana pengelolaan lahan berkelanjutan dengan menggabungkan penggunaan lahan
yang ada dengan tambahan kegiatan proyek yang memenuhi syarat (Plan Vivo Standard, 2012), antara lain (1) Reforestasi dan Agrfoestri, (2) Restorasi Hutan, (3) Pencegahan deforestasi dan konservasi hutan.

Kawasan Hutan Aik Bual yang merupakan kawasan hulu DAS Renggung Kabupaten Lombok Tengah memiliki tutupan vegetasi pohon sebanyak 110 pohon/ha dengan cadangan karbon sebesar 77,63 ton C/ha/tahun dan memiliki nilai produktivitas lahan sebagai sumber penghasilan petani sebesar Rp. 4.363.716/ ha/tahun. Salah satu persyaratan dari program Plan Vivo adalah harus terdapat tutupan vegetasi pohon minimal 400 pohon/ha. Oleh karena itu dalam  implementasi program plan vivo pada kawasan hutan di hulu DAS Renggung dilakukan kegiatan penanaman pohon sebanyak 290 pohon/Ha untuk memenuhi tutupan pohon menjadi 400 pohon/ha. Adapun jenis pohon dan
kompoisis tanam ialah sebagai berikut:

Melalui penanamaan 7 jenis pohon tersebut di atas diharapkan mampu meningkat nilai cadangan karbon di kawasan hulu DAS Renggung yang sebelumnya sebesar 77,63 ton C/ha/tahun dan mampu meningkatkan nilai produktivitas lahan yang sebelumnya hanya sebesar. 4.363.716/ Ha/tahun.
(aikbualforest@2015).

Wednesday, April 8, 2015

PERATURAN DESA (PERDES) AIK BUAL TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI

Proses Sosialisasi, Legal Drafting dan Pengesahan Peraturan Desa (Perdes) Aik Bual tentang Keanekaragaman Hayati


Desa Aik Bual Kecamatan Kopang Kabupaten Lombok Tengah membuat gebrakan baru dengan terbitnya Peraturan Desa (Perdes) tentang Pengelolaan Keanekaragaman Hayati. Kepala Desa Aik Bual, Zulkurnain dalam sambutannya mengungkapkan Pengelolaan Keanekaragaman hayati sangat penting karena tumbuhan maupun satwa merupakan anugerah Allah SWT yang tidak ternilai harganya sehingga harus dijaga kelestariannya. Saat ini, semakin banyaknya terjadi kerusakan lingkungan mengancam keanekaragaman hayati dimana salah satu bukti nyata yang diungkapkan
Zulkurnain adalah semakin menurunnya populasi satwa dan mulai langkanya beberapa jenis tumbuhan serta menurunnya debit air pada beberapa titik mata air di Desa Aik Bual.

Oleh karena itu, guna meminimalisir kerusakan lingkungan sekaligus sebagai upaya menjaga kelestarian tumbuhan maupun satwa maka PERDES menjadi sangat urgen. Selain itu, Sekertaris BPD Aik Bual, Khairul Anam mengungkapkan Desa Aik Bual menjadi lokasi yang sangat penting dan strategis untuk dijaga kelestariannya karena Desa ini langsung berbatasan dengan kawasan hutan yang kaya dengan jenis tumbuhan dan satwa serta merupakan kawasan tangkapan air (cathcment area) dengan potensi sekitar 5 sumber mata air yang menjadi sumber air terutama untuk memenuhi kebutuhan pertanian dan rumah tangga masyarakat Aik Bual. Untuk itu, dengan ditandatanginya sekaligus sosialisasi peraturan desa ini akan semakin mendorong masyarakat Desa Aik Bual menjaga lingkungan sehingga diharapkan lingkungan akan tetap lestari. Sekertaris camat (Sekcam) mengungkapkan peranserta masyarakat dalam pelaksanaan PERDES harus didorong sehingga dampak yang dihasilkan adalah tetap terjaganya ekosistem hutan, terlindunginya sumber mata air di Aik Bual serta terjaganya keberadaan tumbuhan dan satwa. Harapan ke depan adalah alam kita akan tetap lestari, ungkap Lalu Halik, Sekcam Kopang.

Berdasarkan hasil surat keputusan Kepala Desa Aik Bual tentang jenis tanaman yang harus ditanam dalam rangka pengelolaan keanekaragaman hayati diantaranya Beringin (Ficus, sp), Mahoni (Swietenia), Goak (Ficus fistulosa), Rajumas (Duabanga Mollucana), Durian (Durio zibethinus L), Manggis (Garcinia mangostana L), Klokos Udang (Syzygium javanica), Udu (Litsea cubeba), Kenanga (Cananga odorata), Jukut (Syzygium polyanthum), Saropan (Macaranga tanarius).
Dalam menjalankan peraturan desa, kelembagaan kelompok tani memiliki peranan penting diantaranya memotivasi dan mengarahkan petani dalam mengoptimalkan ruang untuk mendapatkan hasil yang maksimal baik dalam jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Finalisasi peraturan desa ini akan dilakukan setelah melalui tahapan konsultasi publik dengan melibatkan perwakilan masyarakat seperti kepala dusun, ketua kelompok tani serta berbagai pihak yang dari awal
terlibat dalam kegiatan penyusunan draf peraturan desa. Setelah disahkan oleh kepala desa melalui persetujuan BPD Desa Aik Bual tahapan selanjutnya yaitu sosialisasi peraturan desa melalui setiap kelompok tani, perangkat desa, serta tokoh masyarakat (toma) serta tokoh agama (toga) di Desa Aik Bual.

Perlindungan habitat tumbuhan dan satwa dalam kawasan hutan dilakukan dengan mewajibkan kelompok tani hutan untuk menjaga dan mencegah perburuan satwa dan penebangan di dalam kawasan kelolanya. Untuk luar kawasan hutan dilakukan dengan menjaga dan meningkatkan daya dukung lingkungan dalam tata air dan mencegah serta melaporkan aktivitas perburuan satwa yang dilarang. Pengayaan jenis tumbuhan dilakukan dengan memperbanyak jenis dan jumlah tumbuhan.

Pemerintah Desa Aik Bual sejak awal mendapatkan dukungan dari Fauna&Flora International (FFI-IP) dan Lembaga Transform melakukan pendampingan dalam penyusunan peraturan desa (PERDES) ini. Beberapa hal yang diatur dalam PERDES ini diantaranya perlindungan, pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, pengayaan tanaman baik di lahan milik maupun lahan publik, dan pemanfaatan keanekaragaman hayati. Akademisi Unram, Dr.H.Mahrus mengatakan Perdes ini
merupakan satu-satunya di Indonesia yang mendorong pengelolaan keanekaragaman hayati. Beliau berharap perdes ini bisa diimpelemtasikan sekaligus bisa dicontoh oleh desa-desa lainnya. Hadir dalam kesempatan penandatangan dan sosialisasi PERDES tersebut Dr. Markum, M.Sc mengungkapkan pentingnya kelestarian keanekaragaman hayati baik tumbuhan maupun
satwa supaya tetap terjaga dengan baik, untuk itu, segenap pihak mulai dari BPD, Pemerintah Desa, Pemerintah Kecamatan Kopang, Lembaga Pendamping/NGO, Instansi pemerintah terkait, Universitas Mataram serta masyarakat harus terus mengawal pelaksanaan peraturan desa ini. (aikbualforest.red@2015)

Tuesday, March 17, 2015

Protecting life-supporting watersheds in Lombok








The community 

Aik Bual is a traditional Sasak village of 1,464 households located in the upstream watershed forests of Bali’s sister island, Lombok. Sitting at the foot of Mount Rinjani volcano and bordering Mount Rinjani  National Park, its community forest is vital for water regulation, erosion control and other services. The community depends on agricultural and forest products such as bamboo, rattan, bananas, vegetables and palm sugar.
The community has secured customary management rights over its forests and is determined to preserve and enhance their important watershed services, and other benefits, through sustainable management and active reforestation. There is great potential to expand this approach to neighboring villages, bringing much-needed financing to help communities rehabilitate degraded lands through agroforestry.

Biodiversity and ecosystem services 

Mount Rinjani National Park and the rainforest covered foothills of the mountain play a critical role in Lombok’s climate and hydrological cycles. Three of Lombok’s four main watersheds are connected to Rinjani, making the volcano and its forests an essential life supporting resource on the island, particularly for irrigation, industry and drinking water.
Sixteen mammal species, 94 bird species and 30 reptiles and amphibians have been recorded in the project area. About ⅓ of these are of high conservation value including the Critically Endangered lesser sulphur crested cockatoo and the Endangered Sunda pangolin.

Threats to the area 

Watershed degradation is a very serious threat on Lombok; springs in the upstream have been drying up due to deforestation since the 1980s, driven by: (1)Expansion of small-holder agriculture, (2) Wood fuel use for households, (3) Wood fuel use for industry and agricultural commodity processing, (4) Illegal logging for timber




Reducing deforestation and building sustainable livelihoods

1. Secure community forest management rights and capacity

This project is empowering the community to manage forest resources effectively for people and conservation benefits, by establishing appropriate management rights and institutions. A customary forest licence has been obtained and the application for community-based forest management rights is underway. These management rights, under the government approved Hutan Kemasyarakatan (HKm) system, are in the final process of being granted to the community institution for 35 years, which will secure long-term tenure necessary for project sustainability. 

2. Forest restoration and protection 

In Aik Bual, climate benefits will be measured through increased forest carbon stocks achieved through protection and rehabilitation of upper watershed forests. Twenty-nine valuable and useful timber and non-timber species have been identified in Mount Rinjani National Park. Twenty-six of these are found in the project area, but their occurrence is now sporadic due to past overharvesting. These species will be the focus of community agroforestry enrichment, to enhance forest resources and secure the buffer zone adjacent to Mount Rinjani National Park, rehabilitate watershed function, and increase the productivity of the community-based agroforestry system. Forest protection activities are carried out through periodic patrols involving community groups, supported by officials from the District and Provincial Forest Service as well as from the Rinjani National Park.

3. Building sustainable livelihoods

Women will be the focus of smallenterprise development activities, as they have been traditionally active in land management and the market for non-timber forest products. They will be the primary beneficiaries of livelihood enhancing activities, receiving training and assistance with post-harvest processing for a range of profitable crops, such as jackfruit, banana, palm sugar, mangosteen and bamboo, which will drive improvements in well-being that benefit their households as a whole.
Sharing REDD+ benefits

Aik Bual villagers are working to design a benefit-sharing plan, using the same participatory approaches as in the other two sites. 

Key Statistics:

Project Area:  2,517 ha
Project Type                             :  Ecosystem rehabilitation
First Crediting Period              : 5 years
Third Party Standard               :   Plan  Vivo Standard
Estimated VERs pa                 :  4,320 tCO2-e
Status                                      :   First  issuance expected Q2 2015
Total Beneficiaries                  : 134 households with approx. 450 individuals
 
Sources:
http://www.fauna-flora.org/initiatives/community-forests-for-climate-people-and-wildlife/


Preserving Lombok’s natural water sources







Lifeline: The water pipeline that is the main source of clean water for Nyeredep hamlet in Aik Bual village, Central


A hundred and fifteen watershed areas spread river streams from the peak of Mount Rinjani over all parts of Lombok Island, West Nusa Tenggara, making the mountain a main source of life and activity for the island population of 3.2 million. Renggung is one of the watersheds prioritized for community management.

Two metal water pipes the size of an adult’s embracing arms are fitted on the wall of a slope in Nyeredep hamlet, Aik Bual village, Kopang district, Central Lombok, with their brownish and rusty bolts indicating their age.

Head of Nyeredep hamlet, Saparudin, said the waterfall of Nyeredep pouring down from the slope used to be a tourist spot, when it was still managed by the village community. Visitors came from various regions, something he described as being capable of promoting rural development through social interaction.

The government later transferred its management to the state. The West Nusa Tenggara provincial administration, through the Regional Drinking Water Company, has targeted a clean water supply of 57 percent in 2015, compared to 24.5 percent in 2009.  This goal covers the supply for East, Central and West Lombok regencies as well as Mataram city.

Official data shows that water springs in Lombok are unevenly distributed. Most of them are found in Narmada, North Batukliang, Aikmel, Motong Gading, Lingsar and Pringgasela. The Nyeredep Waterfall is one of the 107 springs utilized in Lombok. According to Saparudin, many other sources aren’t yet recorded by the government and remain controlled by local residents, some even stay intact


Lifeline: The water pipeline that is the main source of clean water for Nyeredep hamlet in Aik Bual village, Central

Head of Aik Bual village, Zulkarnain, said the local community was considering the inclusion of water spring management in a village regulation, due to the inseparability of water sources from watershed management. “The community is obliged to safeguard water streams within and outside forest areas from any damage. We’re also responsible for environment quality improvement and farmers’ income increase through agro-forestry and environment services,” he pointed out.

The regulation, as suggested by Zulkarnain, also requires the planting of trees and their upkeep by residents planning to get married, parents with newborns and all villagers utilizing clean water from local springs. “We’re being assisted by Fauna & Flora International [FFI] in formulating the rule. We have also created a tree planting data recording system. In the future, the trees will be a buffer safeguarding the lives of locals,” he added.

Surveying the spring of Nyeredep, FFI field officers Ahmad and Johan, went downstream to reach a clear lake, known as embung (reservoir of) Aik Bual, which they said had been in existence for a long time now. Zulkarnain noted the reservoir had been there since his grandfather’s time. It was expanded in the 1960s, followed by further enlargement in the 1970s and 1980s with the aid of the Public Works Office.

In the past, he recalled, local villagers frequently held ritual prayers to ward off evil spirits at the edge of the reservoir. In his view, such ceremonies should have been accompanied by water source protection activities, at least by planting trees in the upstream area of the lake.

The Aik Bual village administration manages 5-hectare forestland upstream of the reservoir, within the settlement of the local people. Any act that harms the forest, including animal hunting, is prohibited. Apart from providing water for villagers, the forest, through the lake, also distributes water to paddy fields through channels downstream.

Zulkarnain, also a patron of the Water Spring Management (Permata) group of Aik Bual, stressed the function of forests as a sponge, absorbing water and releasing it gradually. In the process, the clean water discharged is collected in reservoirs or lakes, or directly flows into river streams.

Meanwhile, head of the provincial Forestry Office, Andi Pramaria, welcomed the idea of the community management of water springs. According to him, a regional regulation on watershed management will be drafted this year. Forests in Lombok have been categorized into protected forests, nature reserves, tourist forests, limited production forests and permanent production forests, with managed forests covering 159,167.28 hectares.

“In Central Lombok alone there are over 19,000 hectares, all made up of watershed areas. The regional regulation being prepared will be very significant if it involves community participation. Moreover, the document on Renggung watershed management is already available,” added Andi.